BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dewasa ini aliran syiah
merupakan salah stu aliran yang actual di bicarakan dalam berbagai media, baik
media elektronik maupun cetak. Aliran syiah telah dikecam sebagai aliran yang
sesat dan menyesatkan karena ajarnnya yang dianggap telah melanggar kaidah
dalam agama islam.
Telah nampak berbagai protes
terhadap ajaran mereka salah satunya adalah yang telah terjadi di Bandung
Senin, 23 April 2012. Hasil akhir dari Musyawarah ‘Ulama dan Ummat Islam
Indonesia ke-2 yang diprakarsai Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang
berlangsung di Masjid Al Fajr Kota Bandung, menghasilkan keputusan:
Merekomendasikan kepada MUI Pusat agar mengeluarkan fatwa tentang kesesatan
faham Syi’ah,Meminta kepada Menkumham, Menag, dan Kejagung agar mencabut izin
seluruh organisasi, yayasan, atau lembaga yang berada dibawah naungan syi’ah
dan atau yang berfaham Syi’ah, Merekomendasikan kepada pemerintah melalui
Mendikbud agar menutup segala kegiatan Iranian Corner di seluruh perguruan tinggi
di Indonesia. Kemudian berkembang berit lagi Bandung Rabu, 02/05/2012 18:07 WIB
- Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar Rafani Achyar mengakui
pihaknya sulit memfatwakan aliran Syiah sebagai aliran sesat. Hingga kini MUI
terus mengkaji berbagai hal yang ada dalam paham Syiah tersebut.Kemuan karena
tiadak adanya keputusan pemerintah yang kurang tegas di Pasuruan Rabu,
09/05/2012 19:28 WIB - 3 Spanduk sosialisasi Keputusan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan
Ajaran Syiah, dipasang di wilayah Bangil, Spanduk bertuliskan 'Alhamdulillah
Fatwa MUI Jatim 2012 Menyatakan Syiah Sesat dan Menyesatkan' dipasang oleh
Jamaah Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja). Pelabelan
sesat disampang yang berakhir pada anarkis yang sangat jauh dari wajah islam,
dll.
Terlepas dari insiden tersebut yang
kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk
dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai
kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, sekte Syi’ah, dan perkembangannya. Semoga
karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid
mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai
seorang muslim, serta terhindar dari aliran yang sesat.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui
mahzab Syiah lebih mendalam.
2. Untuk dapat menjelaskan sejarah dan
latar belakang terbentuknya kaum Syiah.
3. Untuk mengetahui ajaran-ajaran dari
theologi Syiah.
BAB II
PERKEMBANGAN DAN PERSEBARAN MAHZAB SYI’AH
A. Pengertian Syi'ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa
Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak
kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam
dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.)
menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim
sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata
Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī
شيعي. "Syi'ah"
adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa
syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab
bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum
yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat
bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di
antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[2] Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami
beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga
Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang
Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan
pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah
berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad
SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi
Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim
Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh
Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[3]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait
dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni
dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya.
Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul
Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan
tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan
Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam
Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.[4]
B. Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam
sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai
muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt,
syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah.
Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali
(Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[5]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat
bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW.
Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan
karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak
mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya,
yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi
penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan
orang yang luar biasa besar.[6]
Bukti utama tentang sahnya Ali
sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[7]
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari
Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih
Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa
itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i
‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai
pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.[8]
Berlawanan dengan harpan mereka,
ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi
ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang
secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa sahabat
masih sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang
kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa
memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan
masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan
ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi
pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan
Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply).[9]
Karena kenyataan itulah muncul suatu
sikap dari kalangan kaum muslimin yang menentanga kekhalifahan dan kaum
mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat
bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka yakin
bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan mengajak
masyarakat mengikutinya.[10] Kaum inilah yang disebut dengan kaum
Syi’ah. Namun lebih dari pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama
munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu
islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.[11]
Perbedaan pendapat dikalangan para
ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang
teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang memang mulai mencolok
pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling
kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl
al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat
dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah
Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun,
kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan
dan menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah kepada masyarakat.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang
besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan
akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terdapat ahl al-Bait.
Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani Umayyah.
Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin
oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.[12]
Diceritakan
bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan
tonkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya sering
dicium Nabi.[13] Kekejaman seperti ini menyebabkan
kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau paling tidak
menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangan selain
memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti muawiyah dan
Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan
dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan
kepada ketuhanan), Nubuwwah
(Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup diakhirat),
imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl
(keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan
antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamah.[14]
Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya tepecah
menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin
imamah. Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah,
dan Ghullat.
C.
Pokok-pokok Ajaran Syi'ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran
utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al
‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
1.
At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa
Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak
diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun,
menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat
yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui),
qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal),
qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim
(berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh
Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada
Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim,
bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[15]
2.
Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa
Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim
ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali
atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua
perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan
dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan
selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang
buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.[16]
3.
An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap
keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain.
Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia.
Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal
shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang
durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa
jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi
Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada,
istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi
terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam
Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam
Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan
Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[17]
4.
Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti
kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia merupakan pengganti
Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap
pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum
Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap
pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib
ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping
itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa
serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu
gugat ataupun dikritik.[18]
5.
Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang
dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari
akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan
dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik
daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus
memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di
dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala
bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[19]
D. Perkembangan Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat
bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu
Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti
imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok
pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali,
sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin
Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok
ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih
tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya
membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah,
Imamiyah dan Kaum Gulat.
1.
Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah
yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya
Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah
Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi
Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki
nama lain Kaisan.[20]
Diantara ajaran dari Syiah
Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a dan
mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan
Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya
bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.[21]
Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi
beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang berbeda
yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini
bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih
kepada yang lain.[22]
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
a.
Mereka tidak
percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib, seperti
kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
b.
Mereka
mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan
pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak
meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
c.
Mereka
menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan
ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
d.
Mereka
mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
e.
Mereka
mempercayai adanya roh.[23]
2.
Az-Zaidiyah
Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah
yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah
kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein
Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin
Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam
Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria,
yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas
tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah
SWT dengan mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan
khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini,
Ali bin Abi Thalib
dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu
sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.[24]
Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid
bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat
karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam
mereka yaitu:
a.
Ali bin Abi
Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
b.
Hasan bin
Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
c.
Husain bin
Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
d.
Ali bin
Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
e.
Zaid bin Ali
(658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin
Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari
beberapa hal. Diantaranya:
a.
Meyakini
seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan
dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki
pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya
mereka mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat
menjadi imam, bisa lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan
imam dapat dikukuhkan berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga
berdasarkan latar belakang pendidikan.
b.
Ajaran Syi’ah
Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui kekhalifahan Abu
Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali bin Abi
thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan ini, terdapat
konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة المفضول مع وجود الأفضل . Yang
dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang
dimaksud dengan الأفضل ialah Ali bin Abi Thalib.
c.
Dalam ajaran
Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para imam
dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak
paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham
mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan
keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian
dengan menyembunyikan identitas di depan lawan).
d.
Dari segi
ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan
yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi
furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi
(salah satu mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah
mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah dibolehkan
namun telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk fikih yang
diajarkan di Universitas al-Azhar.[25]
3.
Al-Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang
meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam
pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak
mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka
persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin.
Sekte imamah pecah menjadi beberapa
golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua
belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan
Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.[26]
Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam
hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam
ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
a.
Ali bin Abi
Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
b.
Hasan bin
Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
c.
Husain bin
Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
d.
Ali bin
Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
e.
Muhammad bin
Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
f.
Ja'far bin
Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq
g.
Ismail bin
Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak
Musa al-Kadzim.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa
hal. Diantaranya:
a.
Ilmu
al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu
imam-imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi
manusia lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang
lain. Baginya mengetahui ilmu Syari’at melebihi apa yang diketahui.
b.
Sesungguhnya
iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi samar
bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang member
petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu. Dia
tentu muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul,
memenuhi bumi ini dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah
merajalela.
c.
Sesungguhnya
imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun tidak boleh
menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan bahwa
apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam
mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka
menetapkan bahwa imam itu ma’shum.[27]
4.
Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata
ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din yang
artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah ghulat
adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau
ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah
kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat
pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.[28]
Gelar ekstrem (ghuluw) yang diberikan
kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada
beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang
yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga
mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.[29]
Sekte-sekte yang terkenal di dalam
Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah,
Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah dan Nasyisiyah wa Ishaqiyah. Nama-nama sekte
tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini
awalnya hanya ada satu, yakni faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang
mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan
ajaran, Syi’ah ghulat terpecah menjadi beberapa sekte. Meskipun demikian
seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham
ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti
Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam
yang membuat mereka ektrem yaitu:
a.
Tanasukh
yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad
yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu
berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih
rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada
kehidupan yang lebih tinggi.[30]
Syi’ah
Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh
Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
b.
Bada’ yang
merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan
ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.[31]
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah
Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya
menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila
berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar dengan
menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan dengan
perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan dengan
perintah yang sebelumnya.[32]
Faham ini
dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang
akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat
dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu
hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan
sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan
bahwa Tuhan menghendaki bada’
c.
Raj’ah yang
masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan
ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa
yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali
dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq,
Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[33]
d.
Tasbih
artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
e.
Hulul
artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
f.
Ghayba yang
artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa
Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun
66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam
Mahdi.[34]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak
dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran,
doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini.
Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan
perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa
sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu
berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin
berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia.
Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin.
Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi
Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu
sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam
kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari
suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu,
jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan.
Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
B. Saran
Sebaiknya jangan terlalu fanatik
terhadap Ali bin Abi Thalib dan tetap berpegang teguhlah kepada tali agama Allah yang kuat
agar tidak terpengaruh oleh fitnah-fitnah dan ajaran-ajaran yang
sesat. Akibat
terlalu fanatik terhadap sesuatu, akhirnya banyak timbul bid’ah-bid’ah dan
hadi-hadis palsu yang menyesatkan umat.
Untuk seluruh kaum muslimin khususnya mahasiswa agar jangan mengklaim
sesuatu itu sesat tanpa ada bukti yang ilmiah. Karena ternyata ada juga aliran Syiah yang tidak
banyak menyimpang kepada ajaran yang sesat seperti Syiah az-zaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah,
Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos
Publishing House, 1996.
Al-jauhani, Al-mausu’ah, Al-muyasaroh.
WAMY Sumber
http;// peziarah. Wordpress.com: diakses pada tanggal 30
November 2013.
Al-khotib,
Sayyid Muhibudin, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah,
Surabaya:PT.bina ilmu, 1984
Asy-Syahrastani,
Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub
al-'Ilmiyah, 1951.
A. Nasir,
Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
Drs,
Muhammad sufyan raji Abdullah, lc, mengenal aliran-aliran islam dan ciri-ciri
ajarannya, Jskarta: LPPI, 1996.
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986.
Razak, Abdur
dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Syak’ah,
Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu
Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Tahdzibul
Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari
kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
Thabathaba’i,
Muhammad Husai, Shi’a,terj. Husain Nasr, Anshariah, Qum, 1981.
[1]
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari
dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab
Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji.
[3]
Riwayat di
Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
[4]
Sayyid
Muhibudin al-khotib, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah
Al-Imamiyah,(Surabaya:PT.bina ilmu, 1984), hal.25
[5]
Muhammad Abu
Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), hal. 34.
[7]
Hadits tentang
Ghadir Khum ini terdapat dalam versi Sunni maupun Syi’ah dan semuanya merupakan
hadits shahih. Lebih dari seratus sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam
berbagai sanad dan ungkapan. Lihat Muhammad Husai Thabathaba’i, Shi’a,terj.
Husain Nasr, (Anshariah, Qum, 1981)
[12]
Sahilun A. Nasir,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 82.
[14]
Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 135-136.
[20]
Solah Abu
Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, (Giza:
Maktabah Nafidah, 2004), hal. 158.
[24]
Muhammad Abu
Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing
House, 1996) , cet.1 hal.25.